Konseling Pernikahan, kriteria menuju hubungan perkawinan/ keluarga yang sehat dan bahagia. (Psikologi Motivasiku).



KONSELING PERNIKAHAN

Disusun Oleh :
Nur Aisyah Ihsanunnisaa
Yogi Abdul Aziz


YOGYAKARTA
2012 / 2013

BAB I
KONSELING PERNIKAHAN

عَنْ اِبْنُ عمر ر.ض عَنِ النَّبِيِّ ص.م قَالَ رَسُولُ اللهِ ص.م يَامَعَشِرَالشَّبَابِ مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الباءة فَلْيَتَزَوَّجُ فَإِنَّهُ اغض لِلْبصرواحصن لِلْفَرَجِ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وَجَاء. ( رواه البخارى ومسلم )
“Rasulullah SAW bersabda: Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin, karena sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang agama) dan memelihara kehormatan (farj). Dan barang siapa tidak sanggup untuk melakukan pernikahan, hendaklah ia puasa, karena puasa itu perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seruan dari Rasulullah SAW ditujukan kepada para pemuda, karena sesungguhnya mereka itu orang–orang kuat dugaan kecintaannya kepada kaum wanita. Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata “ba’ah” itu. Pendapat yang paling kuat/ benar bahwa yang dimaksud dengan kata itu ialah jima’ (persetubuhan). Jadi kira–kira maksudnya: barang siapa diantara kamu yang mampu jima’ di samping mampu biaya pernikahan, maka hendaklah dia menikah, dan barang siapa yang belum mampu jima’ di samping tidak mampu biaya pernikahan itu, maka hendaklah ia berpuasa agar dia dapat mengendalikan syahwatnya dan kejahatan nafsu birahinya, sebagaimana pengebirian. (As Shan’ani, t.t/III: 109)
            Nikah yaitu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong–tolongan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sesuai ajaran agama. Diciptakan pria dan wanita, antara keduanya saling tertarik dan kemudian kawin. Proses ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek biologis agar manusia berketurunan dan aspek afeksional agar manusia tenang dan tenteram berdasar kasih sayang (security feeling).
            Ditinjau dari kesehatan jiwa suami/ istri yang terikat dalam suatu pernikahan tidak akan mendapat kebahagiaan manakala pernikahan itu hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata tanpa terpenuhinya kebutuhan afeksional. Faktor afeksional merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu pernikahan/ rumah tangga merupakan kebenaran dari firman Allah SWT:
وَمِنْ ءَايَتِهِ أَنْخَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَجَالِّتَسْكُنُوْاإِلَيْهَاوَجَعَلَ بَيْنَكُمْ  مَوَّدَّةَ وَّرَحْمَة. إِنَّ فِىْ ذَلِكَ لَأَ يَتِ لِّقَوْمِ يَّتَفَكَّرُوْن. ( الروم : 21 )
“Dan di antara tanda – tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri/ pasangan dari jenisnya sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kaum yang berfikir.” (Dadang Hawari, 1999: 249)
Agar aspek afesional bisa tercapai dalam perkawinan itu Nabi mengarahkan dalam pemilihan jodoh sebagai berikut:
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةُ ر.ض عَنَّ النَّبِيِ ص.م تَنْكِحُ الْمَرْءَةلِأَرْبَع: لِمَالهاوَلحْسَنِهَاوَلِجَمَلِهَاوَلِدَيْنِهَافا ظفربذات الدَيْنِ تربتيداك (رواه متفق عليه)

“Nabi SAW bersabda: perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu berbahagia.” (HR. disepakati Bukhari dan Muslim)
Bila terpenuhi dua aspek, yaitu biologis dan afeksional dalam suatu perkawinan maka keluarga itu akan berhasil membangun rumah tangga sakinah mawaddah warahmah yaitu keluarga yang tenang berkasih sayang dirahmati Allah, sehingga bisa dikatakan “rumahku syurga”.
Dalam hubungan ini Nabi bersabda:
عَنْ أَنَس ر.ض عَن انَّبِيِّ ص.م قَالَ : إِذَاأَرَدَ الله بِأَهْلِ بَيْت خَيْرافقههم فِى الّدِيْنِ ووقرصَغِيْرهُمْ كَبِيْرهُمْ وَرَزَقَهُمْ الرزق فِىْ مَعَيشتهم وَالقصد فِىْ نَفَقَاتِهِمْ وَبَصَرِهِمْ عُيُوْبَهُمْ وَيَتُوْبُوامِنْهَا. وَإِذَاأَرَادَبِهِمْ غَيْرِذَلِكَ تَرَكَهُمْ هَملا ( رواه الديلمي )
“Apabila Allah menghendaki suatu keluarga menjadi keluarga yang baik (bahagia-sakinah) dijadikannya keluarga itu memiliki penghayatan ajaran agama yang benar, anggota keluarga yang muda menghormati yang tua, berkecukupan rezeki dalam kehidupannya, hemat dalam membelanjakan nafkahnya dan menyadari cacat – cacat mereka dan kemudian melakukan taubat. Jika Allah SWT menghendaki sebaliknya, maka ditinggalkan-Nya mereka dalam kesesatan.” (HR. Dailami)
Niek Stinnet dan John De Frain (1987) dalam studinya berjudul “The National Study on Family Strength” mengemukakan enam hal sebagai suatu pegangan atau kriteria menuju hubungan perkawinan/ keluarga yang sehat dan bahagia:
1.      Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga. Sebab dalam agama terdapat nilai – nilai moral atau etika kehidupan.
2.      Waktu untuk bersama keluarga itu harus ada. Sering kali bapak sibuk tidak ada waktu. Ibu sibuk tidak ada waktu. Jadinya anak ke teman dan mungkin sekali pengaruhnya negatif.
3.      Dalam interaksi segitiga itu, keluarga harus menciptakan hubungan yang baik antara anggota keluarga. Harus ada komunikasi yang baik, demokratis, timbal balik.
4.      Harus saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak. Seorang anak bisa menghargai sikap ayahnya. Begitu juga ayah bisa menghargai prestasi anak atau sikap anak. Seorang istri menghargai sikap suami atau sebaliknya, suami menghargai istri.
5.      Keluarga sebagai unit terkecil terdiri dari ayah, ibu, dan anak harus erat dan kuat. Jangan longgar, jangan rapuh. Kecenderungan masyarakat modern sekarang ini hubungan keluarganya longgar.
6.      Jika keluarga anda mengalami krisis, mungkin terjadi benturan – benturan, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga. Keluarga harus kita pertahankan, baru apa masalahnya atau krisisnya kita selesaikan. (Dadang Hawari, 1999: 283 – 286)

Dalam mengarungi samudera kehidupan itu, biduk rumah tangga senantiasa pula dihadang ombak dan badai sehingga terjadilah banyak problem dalam kehidupan berumah tangga. Problem di seputar pernikahan atau kehidupan berkeluarga biasanya berada di sekitar:
1.      Kesulitan memilih jodoh/ kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/ istri.
2.      Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi,
3.      Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami/ istri.
4.      Ketidakpuasan dalam hubungan seksual.
5.      Kejenuhan rutinitas,
6.      Hubungan antar keluarga yang kurang baik,
7.      Ada orang ketiga (WIL atau PIL),
8.      Masalah harta warisan,
9.      Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami/ istri,
10.  Dominasi orang tua atau mertua,
11.  Kesalahpahaman antar kedua belah pihak,
12.  Poligami. (Mubarok, 2000: 96)
Dari berbagai problem kerumahtanggaan seperti tersebut di atas, maka tujuan konseling perkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem – problem yang timbul dalam kehidupan pernikahan. Oleh karena itu konseling pernikahan pada prinsipnya berisis dorongan untuk menghayati kembali prinsip – prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. (Mubarok, 2000: 96- 97)

BAB II
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan hakikat dari diciptakannya manusia di muka bumi ini, sebagaimana diciptakannya Adam dan Hawa. Pada umumnya pernikahan ini diwajibkan bagi orang yang mampu untuk segalanya, baik secara lahir maupun batin dan diharapkan dalam sebuah keluarga tersebut terjalinnya suatu tujuan kelaurga yang syakinah mawwa'dah warahmah.
Tidak bisa dipungkiri bagian dari pernikahan ini bagian dari pemenuhan biolgis bagi yang dikenai hokum wajib nikah dan bagi yang belum mampu segalanya maka dianjurkan untuk berpuasa supaya terhindar dari rasa nafsu untuk nikah.

Komentar